Selasa, 01 Juni 2010

Reklamasi Pantai Utara Jakarta Ilegal Gurita 3 Rezim yang Berakhir di MA

Jakarta - Mahkamah Agung (MA) beberapa hari lalu mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Dalam putusan kasasi tersebut, Kepmen No 14/2003 yang menilai tidak layak rencana reklamasi dan revitalisasi Pantai Utara (Pantura) sah secara hukum.

"Artinya, seluruh aktivitas reklamasi pantai utara Jakarta ilegal karena dokumen regional sebagai satu kesatuan dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) antar-wilayah tidak layak. Dan dengan sendirinya seluruh dokumen AMDAL lokal gugur atau tidak berlaku," kata mantan Ketua Walhi Jakarta, Slamet Daroyni kepada detikcom, Senin (31/5/2010).

Awal mula gagasan reklamasi Teluk Jakarta sejak rezim Orde Baru. Oleh Presiden Soeharto, ide tersebut menjadi program Repelita VI yang tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 17 tahun 1994 tentang Pantura sebagai kawasan andalan. Keputusan Presiden Nomor 52/ 1995 mempertegas bahwa reklamasi akan dilaksanakan di Pantai Utara Jawa. Untuk mendukung Keputusan Presiden tersebut maka lahirlah Peraturan Daerah DKI Nomor 8 tahun 1995.

"Dari segi ilmu perundang-undangan, materi muatan Keppres No 52/1995 memang merupakan materi sebuah Keppres, karena mengatur segi-segi teknis pelaksanaannya. Akan tetapi ini harus ditetapkan terlebih dahulu melalui suatu produk hukum yang melibatkan partisipasi masyarakat di dalamnya. Karena secara
subtansi menyentuh kehidupan rakyat secara langsung," tambah Slamet yang kini aktif di Institut Hijau.

Melalui tender Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menugaskan 6 perusahaan swasta melakukan reklamasi di Teluk Jakarta yaitu PT BME, PT THI, PT MKY, PT PJA, PT JP dan PT Pel II . Lantas keenam perusahaan tersebut akhirnya membuat Amdal.

Sayangnya, berdasarkan hasil evaluasi Menteri Lingkungan Hidup pada masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri menentang reklamasi. Sikap ini tertuang pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 14 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa Menteri meminta agar Amdal disempurnakan, Amdal belum dapat diterima dan reklamasi tidak dapat dilaksanakan sampai Amdal dinyatakan layak.

Alhasil keenam perusahan tersebut menggugat Kementerian Lingkungan Hidup di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dengan nomor perkara 75/G.TUN/2003/PTUN-JKT .

"Amdal regional yang berhak menilai adalah wewenang Amdal Pusat (KLH). Karena dalam ketentuan pasal 11 PP No 27/1997 tentang Amdal disebutkan bahwa Komisi penilai pusat berwenang menulai AMDAL yang memenuhi kriteria,” tambahnya.

Gugatan 6 perusahaan ke PTUN ini mendapat perlawanan keras dari aktivis lingkungan dan akademisi serta para nelayan di pesisir Jakarta Utara.  Di PTUN tingkat pertama dan kedua pengusaha tersebut dimenangkan. Pada tingkat kasasi inilah, MA mengabulkan permohonan KLH yang berarti reklamasi menyalahi Amdal.

Meski kasus sengketa proyek reklamasi masih berlangsung dan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, pengembang tetap membangun puluhan properti di atas lahan urukan laut. Mulai dari apartemen, kawasan wisata, kota mandiri hingga real estate papan atas. Selain itu, beberapa kawasan reklamasi dijadikan sebagai pusat bisnis dan pabrik. Hingga akhirnya MA mengalahkan para pengusaha tersebut.

Lantas bagaimanakah pelaksanaan keputusan MA ini? Kita lihat pemerintahan rezim ketiga, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menindak lanjuti keputusan MA ini.

(asp/anw)detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar